Lebaran biasanya identik dengan mudik. Bagi yang punya keluarga maupun sanak keluarga di kampung maupun kota-kota kecil, berbondong-bondonglah mereka pada mudik untuk bersilaturahmi, saling bermaafan di hari yang Fitri.
Maka seperti yang biasa terjadi kemacetan dan membludaknya penumpang angkutan umum ada dimana-mana. Yang tidak naik angkutan umum, mereka menggunakan kendaraan pribadi, baik mobil maupun sepeda motor, bahkan bajay pun digunakan untuk mudik.
Maka ibukota negara kita pun menjadi sepi karena ditinggalkan mudik oleh hampir sebagian besar masyarakat penghuninya. Jakarta yang biasanya ramai dan identik dengan kemacetan tiba-tiba jalanannya menjadi sangat lengang dan sepi. Sangat nyaman untuk dihuni dan dijadikan tempat istirahat yang bebas dari hiruk pikuk sehari-hari, untuk sementara tentu saja.
Penulis pun memutuskan untuk "menentang arus mudik" dengan pergi ke Jakarta pada saat orang-orang Jakarta pada pergi mudik ke daerah-daerah. Kamandanu pun menjadi alat transportasi yang nyaman untuk mengantar ke ibukota. Banyak tempat duduk yang tidak terisi, berkebalikan dengan kereta yang menuju ke kota-kota lain di pulau Jawa.
Menginap di PI, di bilangan Jakarta Selatan, salah satu daerah elit di ibukota, tempat tinggal kakak tertua. Berharap ketenangan dan kenyamanan memang dapat dirasakan tapi hanya di pagi hari. Malam hari, sekalipun di lingkungan perumahan elit, ternyata tidak bebas dari hiruk pikuk petasan, jauh lebih dahsyat dan mengerikan dibanding tempat tinggal penulis di bilangan Semarang Timur. Alamak....salah duga.
Berkeliling pada saat lebaran menjadi sangat nyaman, namun hati-hati dengan rambu lalu lintas yang ada. Karena kadang-kadang memberikan kesan "menjebak" bagi pengendara-pengendara mobil ber-plat B sekalipun.
4 hari di ibukota belumlah cukup, namun mau tidak mau harus kembali ke Semarang, kali ini "menentang arus balik", untuk menjalankan tugas dan kewajiban sehari-hari. Amin.